Alamat: Jln. Muhammadiyah II Kelurahan Tondo
Watshaap: 081242067206
Fb: Surahman J Wilade

Rabu, 23 Januari 2019

SEDEKAH KREATIF

1. Siapkan nasi bungkus dari rumah. Berikan ke orang yang kira-kira membutuhkan seperti pedagang kecil,
pengemis, orang gila, pengamen, anak terlantar dll. Enggak usah banyak-banyak misal 1 bungkus setiap harinya.
2. Laundry/cucikan Mukena secara berkala musholla yang ada di sekitar lingkungan kita.
3. Berkala beli Mukena baru, misal 3 bln sekali. Malu dong sama Allah pake itu-itu melulu, yang lama disedekahkan.
4. Bawa Mukena ketika akan berpergian. Tinggalkan di masjid/ musholla yang kita singgahi.
5. Beli kamper/pengharum baju. Taruh di kumpulan mukena di masjid/musholla yang kita singgahi
6. Bungkus perlengkapan shalat (Mukena, sarung, sajadah, kopiah, Al Qur'an jadikan parcel ketika lebaran. Berikan ke satpam komplek atau tukang kebersihan komplek atau office boy di kantor. InsyaAllah pahalanya mengalir.
7. Beli beberapa pasang sandal cepit, taruh di kantor, musholla atau masjid untuk digunakan ketika berwudhu.
8. Beli perlengkapan untuk membersihkan toilet, juga pengharum ruangan, dan berikan secara berkala ke masjid-masjid.
9. Bagi yang shalat Jum'at, datang 15 menit lebih awal. Bantu bersih-bersih dan beres-beres.
10. Kumpulkan botol minuman plastik/botol bekas shampoo dll, setelah banyak berikan ke pemulung.
11. Kalau beli minum dalam kemasan, kalau ada sisa bawa pulang. Airnya bisa disedekahkan untuk tanaman (sedekah alam), dan wadahnya dikumpulkan, kalau sudah banyak dikasihkan pemulung..
12. Beli beberapa burung yang murah saja, lepaskan ke alam bebas.
13. Beli makanan kucing siap saji dalam toples, taruh di tas. Ketika di jalan ketemu kucing liar, berikan.
14. Beli barang diskonan di supermarket agak banyak. Misal detergent, minyak goreng, sabun, buku tulis, pulpen kemudian bungkus cantik hadiahkan ke panti asuhan atau rumah singgah.
15. Jangan nawar ke pedagang kecil, kalau bisa justru kasih lebih.
16. Beli tissue atau keperluan yangsederhana di pedagang kecil yangkita jumpai, misal tissue 2000 rupiah, ikat rambut atau peniti sudah cukup bikin mereka senang.
17. Ketika makan di kaki lima ada pengemis atau anak terlantar, beliin mereka seporsi seperti yang kita makan.
18. Siapa yang suka jualan makanan kecil di kantor? Gratisin buat yangbuka puasa. Kebayangkan gorengan 2000 bisa bikin kita masuk surga. In syaa Allah.
19. Ada pembangunan masjid? Bisa bikin gorengan? Berikan beberapa ke pekerja.
20. Selalu siap jika dimintai tolong tenaga, jika sedekah materi belum bisa kita lakukan.
21. Bayarlah lebih ketika naik angkot yang supirnya kakek-kakek atau bapak tua.
22. Kasih tips lebih buat ibu/abang ojek online kalo kira-kira jaraknya jauh dan juga kondisi mereka yang kira-kira memprihatinkan (tua misalnya).
23. Ketika di bis/ angkot. Bayarin nenek-kakek yang keliatan kurang mampu atau suami istri yang buta.
24. Pas bulan Ramadan. Diperkirakan buka puasa diperjalanan. Angkot, bis, kereta, busway etc. Siapkan beberapa air mineral (gelas) pas adzan bagi-bagi. Kebayang beli 5000 aja udah dapat 10, Kita dapat 10 pahala beri minuman orang berbuka. In sya Allah.
25. Tawarkan temen kita yang searah, Jika kita bawa kendaraan.
26. Pada saat di perjalanan bersama keluarga mampir di toilet masjid biasakan anak laki-laki diberi tugas bersihin toilet dan tempat wudhu.
27. Rutin mensortir mainan anak kita. Buy 1 give 1. Ketika beli mainan baru harus ada 1 mainan yang disedekahkan ke temannya atau panti asuhan.

Semoga menginspirasi. Mulai dari hal yang terlihat sepele, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang.
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang2 yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap2 bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."
QS. AL BAQARAH
Kebayang satu orang di antara kita menjalankan ini setiap harinya, berapa banyak masalah sosial bisa teratasi ... plus pahala yang bisa kita raih .. Aamiin.

Sabtu, 19 Januari 2019

DEMAGOGI Oleh : Rocky Gerung

Debat bukan sabung ayam. Tapi kita telanjur menikmatinya begitu. Menunggu ada yang keok. Lalu bersorak, lalu mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang kini menguasai psikologi politik kita: mencari kepuasan dalam kedunguan lawan.

Debat adalah seni persuasi. Seharusnya ia dinikmati sebagai sebuah pedagogi: sambil berkalimat, pikiran dikonsolidasikan. Suhu percakapan adalah suhu pikiran. Tapi bagian ini yang justru hilang dari forum debat hari-hari ini. Yang menonjol cuma bagian demagoginya: busa kalimat. Pada kalimat berbusa, kita tak menonton keindahan pikiran.

Dalam suatu rapat politik, Haji Agus Salim, salah seorang pendiri negeri, berpidato memukau. Lawan politiknya datang mengganggu dengan meneriakkan suara kambing: embeeek… embeeek. Teriakan itu jelas untuk menghina. Janggut Agus Salim memang mirip janggut kambing. Rapat jadi gaduh. Caci-maki memenuhi ruangan.

Tapi Agus Salim tak terusik. Dengan tenang ia berbicara: “Maaf, ini rapat manusia. Mengapa ada suara kambing?” Rapat berlanjut, setelah gelak tawa meledak.

Politik adalah kecerdasan. Haji Agus Salim tak mengejek balik. Ia hanya memakai otaknya untuk membungkam lawan. Ia memberi pelajaran. Politik adalah pikiran. Bukan makian.

ooo

Demagogi adalah ilmu menyiram angin demi menuai bau, yaitu mencari sensasi dalam psikologi massa untuk menikmati kebanggaan diri. Sang tokoh akan mencari penonton demagogis, mereka yang siap menelan angin, siap berjuang dengan modal angin. Dengan psikologi inilah politik mengepung publik. Demokrasi kita hari ini ada dalam situasi itu.

Duel politik tak lagi bermutu. Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan. Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung. Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang politik. Suatu sensasi aphrodisiacmemompa adrenalin untuk memuaskan politik demagogi: “Aku mengejek, maka aku ada.” Megalomania di sana, hipokrasi di sini. Dua-duanya kekurangan pikiran.

ooo

Negeri ini didirikan dengan pikiran yang kuat: bahwa kemerdekaan harus diisi dengan pengetahuan, agar anak negeri tak lagi dibodoh-bodohi oleh kaum pinter dari luar. Kebodohan mengundang penjajahan.

Kemerdekaan adalah hasil siasat intelektual, oleh yang berbahasa, maupun yang bersenjata. Politikus dan pejuang tumbuh dalam kesimpulan yang sama, yaitu kemerdekaan adalah tindakan pedagogis.

Panglima Sudirman semula adalah seorang guru, lalu jadi jenderal.

Jadi, dari mana kita belajar demagogi?

Kendati suka memanfaatkan emosi massa, Sukarno bukanlah seorang demagog. Ia memang mengumbar retorika, tapi tetap dalam kendali logika yang kuat. Dalam sebuah pidato lapangan di depan barisan tentara, Sukarno mengucapkan kalimat kurang-lebih begini: “Saudara-saudara tentara, kalian adalah alatnya negara. Dan negara adalah alatnya rakyat. Jadi kalian adalah alatnya alat.” Bukan sekadar retorikanya bagus, Sukarno mengucapkannya dalam suatu silogisme. Suatu pelajaran logika, bagi rakyat.

Jadi, dari mana kita belajar mengejek? Tan Malaka memiliki kekayaan metafor. Sutan Sjahrir lihai membekuk pikiran lawan debat. Mohammad Hatta bersih dalam berkalimat. Begitu juga yang lain. Pendiri negeri tumbuh dalam tradisi pikiran. Pidato Sjahrir di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1947), ketika mempertahankan kemerdekaan, disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih: “Siapa yang Saudara percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami,” ditanggapi Sjahrir dengan enteng: “Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, ketimbang membantah argumen saya.”

Debat adalah pelajaran berpikir.

Negeri ini dihuni oleh gagasan, karena kita bertemu dengan berbagai pengetahuan mancanegara. Filsafat dan ideologi sudah lama berseliweran dalam pikiran pendiri negeri. Rasionalitas dan teosofi beredar luas di awal kemerdekaan. Sastra dan musik disuguhkan dalam pesta dan konferensi. Suatu suasana pedagogis pernah tumbuh di negeri ini. Tapi jejak poskolonialnya hampir tak berbekas, kini.

Memang, ada yang putus dari masa itu dengan periode Orde Baru: kritisisme.

Teknokratisasi pikiran, ketika itu, melumpuhkan kebudayaan. Birokratisasi politik mengefisienkan pembuatan keputusan, karena tak ada oposisi.

Kritik yang pedas memerlukan pengetahuan yang dalam. Sinisme yang kejam datang dari logika yang kuat. Dua-duanya kita perlukan untuk menguji pikiran publik agar tak berubah menjadi doktrin, agar panggung publik tak dikuasai para demagog. Kita hendak menumbuhkan demokrasi sebagai forum pikiran.

ooo

Debat adalah metode berpikir. Titik kritisnya adalah ketika retorika mulai tergelincir. Titik matinya adalah ketika dialektika terkunci.

Itulah saat kita menikmati debat sebagai pelajaran berpikir, suatu peralatan pedagogis untuk mendidik rakyat dengan pikiran. Demokrasi adalah sekolah manusia, bukan arena sabung ayam. Hari-hari ini, kita tak melihat itu karena busa kalimat memenuhi ruang sosial. Busa kekuasaan, busa dendam, busa hipokrit. Sementara di belakang panggung para dalang mengatur siasat, penonton dijebak dalam psikologi: terlalu optimistis atau terlalu pesimistis. Tak ada yang kritis. Tan Malaka pernah memberi nasihat: “Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak boleh merasa terlalu optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada oportunisme.”

SEDEKAH KREATIF

1. Siapkan nasi bungkus dari rumah. Berikan ke orang yang kira-kira membutuhkan seperti pedagang kecil, pengemis, orang gila, pengamen, ana...